Jumat, 22 Februari 2013

Renungan Lepas.

Mukjizat Setiap Saat.

By J Sudrijanta
Setiap orang rata-rata mengalami mukjizat sekali dalam setiap bulan. Teori mukjizat “sekali sebulan” itu disebut dengan Teori Mukjizat Littlewood karena ditemukan oleh seorang ahli Matematika yang bernama Profesor John Edensor Littlewood dari Cambridge University pada tahun 1986. 
Mukjizat di sini didefinisikan secara sederhana sebagai peristiwa yang luar biasa yang memiliki makna spesifik bagi orang yang mengalami. Peristiwa luar biasa ini berlangsung dengan frekuensi 1:1 juta. 
Saat manusia berada dalam keadaan sadar-terjaga, tidak pingsan atau tidur, ia akan melihat atau mendengar satu “peristiwa” per detik, entah peristiwa biasa atau tidak biasa. Dengan asumsi bahwa lama waktu orang sadar-terjaga adalah 8 jam per hari, maka orang mengalami sekurang-kurangnya 1 juta peristiwa selama 35 hari.
Hitungannya adalah sebagai berikut:
- 8 jam x 3.600 detik per jam = 28.800 peristiwa per 8 jam per hari.
- 28.800 peristiwa x 35 hari = 1.008.000 peristiwa dalam 35 hari.
Tentu saja orang yang banyak melakukan aktivitas memiliki kesempatan mengalami lebih banyak peristiwa yang beragam dibanding kalau orang hanya duduk-duduk saja di depan TV atau komputer. Tetapi banyaknya peristiwa yang dialami tidak menentukan banyaknya mukjizat yang bisa dilihat. Yang menentukan peristiwa luar biasa yang bisa dilihat ditentukan oleh kualitas keadaan sadar-terjaga.
Berbeda dengan Littlewood. Peristiwa yang luar biasa sesungguhnya sudah terjadi setiap saat, hanya kita tidak melihat. Untuk bisa melihat, kita perlu membuka batin, membuka mata. Agar mata dan batin kita terbuka, kita perlu sadar-terjaga pada tingkatan yang lebih dalam.
Terdapat dua tingkat keadaan sadar-terjaga. Tingkat pertama adalah  sadar-terjaga masih dipengaruhi oleh pikiran dan tingkat kedua adalah sadar-terjaga tidak dipengaruhi oleh pikiran. 
Orang yang tidak mempraktikkan kesadaran dan hidup dengan kesadaran tingkat pertama, punya kesempatan mengalami mukjizat sekali sebulan. Orang yang mempraktikkan kesadaran dan hidup dengan kesadaran tingkat kedua, punya kesempatan lebih banyak untuk dapat melihat atau mengalami lebih banyak peristiwa luar biasa dari saat ke saat.
Mukjizat yang dilihat dari kesadaran tingkat kedua tidak selalu terkait dengan hal-hal “fisikal” seperti penyembuhan dari penyakit, keberhasilan dalam bisnis atau pekerjaan, ketemu jodoh, dan semacamnya, tetapi juga dan terutama terkait dengan hal-hal “non-fisikal” seperti terbebasnya batin secara total dari konflik dan pergulatan, harmoni dalam relasi, tanggalnya kelekatan dan keterkondisian, kejernihan dalam melihat atau mendengar, mekarnya batin dalam kecerdasan, cinta dan welas asih.
Melihat dari keadaan sadar-terjaga tingkat kedua, dimana pikiran sama sekali tidak mengotori proses melihat, membuat kita berjumpa dengan peristiwa seperti apa adanya, bukan peristiwa seperti yang kita harapkan, kita inginkan, kita pikirkan.
Mengapa orang berharap mengalami mukjizat? Bukankah karena orang tidak melihat peristiwa sebagai apa adanya, lalu orang berharap terjadinya mukjizat? Bukankah harapan terjadinya mukjizat justru menjauhkan orang dari apa adanya? Bukankah mukjizat sudah berlangsung setiap saat ketika terdapat melihat dari keadaan sadar-terjaga bebas pikiran?
Jadi, mana lebih penting, berharap atau melihat–berharap terjadi mukjizat yang sesungguhnya sudah berlangsung setiap saat– atau melihat?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar