Kesadaran Hati dan Dialog Kehidupan
Umumnya, orang secara naluriah menggunakan kesadaran pikiran
(thinking)
dalam relasi antar pribadi, sehingga kadang ia tidak mudah menerima ucapan
lawan bicaranya secara “apa adanya” sebagai objek pembicaraan yang netral.
Mengapa? Karena setiap diajak bicara, ia sudah beropini (suka, setuju, baik,
cocok, positif, negative, dan sebagainya). Naluri inilah yang seringkali
menjadikan dialog tidak fokus.
Kesadaran pikiran berbeda dengan kesadaran melampaui pikiran
(awareness).
Awareness adalah kesadaran yang tidak lagi melibatkan pikiran analitis.
Dalam bahasa Jawa ini disebut
eling, atau menggunakan batin atau
hati. Meski demikian, suara hati tidak selamanya benar, karena hati
cenderung dicemari oleh pikiran yang mencari rasionalisasi dan mementingkan
diri sendiri. Di sinilah perlunya senantiasa menjaga hati.
Di dalam
kesadaran pikiran
terdapat
subyek si “aku” dan objek pembicaraan, sementara dalam
awareness subyek
atau si “aku” tidak ada, maka obyek tidak lagi disebut obyek, tetapi cukup
disebut “apa adanya”. Meskipun hampir semua orang tahu bahwa semata-mata
mementingkan diri sendiri tidak baik, tetapi dalam dialog orang sudah
mementingkan diri sendiri sehingga tidak bisa menerima sikap lawan bicaranya.
Sekali lagi, ini karena naluri mendorongnya untuk beropini, menilai, dan
mungkin mengadili. Sikap ini adalah akibat dari reaksi ingatan atas peristiwa
relasi masa lalu.
Meneladani cara dialog Bunda Maria dengan Yesus
Contoh dialog
awareness secara jelas dapat kita lihat dari percakapan
antara Bunda Maria dan Yesus dalam Injil Yohanes 2:1-11; Perkawinan di Kana.
Sejak Bunda Maria menerima Kabar Gembira dari Malaikat Gabriel, ia
berjanji untuk hidup setia: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku
menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Janji tersebut dihayati sepanjang
hidupnya.
Dalam kisah perikope Injil Yohanes tersebut, Bunda Maria sangat peduli
kepada si pemangku hajat. Ia tetap fokus ingin membantu supaya tidak kekurangan
anggur. Ketika Bunda Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.”
Kata Yesus kepadanya, “Mau apakah engkau daripada-Ku, Ibu? Saat-Ku belum tiba.”
Mendengar ucapan Yesus tersebut, Bunda Maria tetap bersikap positif, fokus, dan
tidak reaktif. Bunda Maria bisa menerima ucapan Yesus apa adanya, tanpa opini
karena menggunakan kesadaran hati sejati, tanpa mementingkan diri sendiri.
Bayangkan apabila hal itu terjadi pada diri kita ketika berdialog, mungkin
masalah bisa beralih karena pikiran secara naluriah mendominasi, sehingga si
“aku” beropini. Bisa jadi yang awalnya berniat peduli kepada sesama akhirnya
tidak bisa terwujud. Karena Bunda Maria tidak beropini, bisa menerima apa
adanya ucapan Yesus, tetap fokus ingin membantu, maka berkatalah Bunda Maria
kepada para pelayan (tidak menanggapi ucapan Yesus), “Apa yang dikatakan
kepadamu, buatlah itu!” Akhir dari kisah ini kita semua tahu bahwa si pemangku
hajat berkelimpahan anggur yang diubah Yesus dari air karena dialog Bunda Maria
dengan Yesus yang
awareness. Dalam dialog tersebut Yesus juga tidak reaktif
terhadap ucapan Maria kepada para pelayan, karena Yesus-pun
awareness.
Eling atau kesadaran hati inilah yang kiranya harus kita biasakan
dalam hidup supaya bisa membangun relasi yang baik dengan sesama, terutama di
dalam keluarga, lingkungan sekolah, pekerjaan, komunitas, dan sebagainya.
Rusaknya relasi banyak disebabkan karena menggunakan kesadaran pikiran: si
“aku” selalu mendominasi. Atau yang sering terjadi adalah tampaknya baik,
tetapi sejatinya ada pihak yang tidak puas tapi terpaksa mengalah karena tidak
berdaya atau tidak ingin konflik. Pihak yang terpaksa mengalah ini juga masih
mengutamakan kepentingan dirinya sendiri karena belum bisa menerima ucapan
secara apa adanya, masih ada yang “mengganjal”, dan karena itulah sejatinya
masih ada konflik di dalam batinnya, meskipun katanya sudah mengampuni dan bisa
menerima.
Kita tahu bahwa hukum bukan sebuah produk pikiran belaka, tetapi harus
memiliki roh berupa moral. Dan ketika hukum diterapkan hanya berdasarkan apa
yang tertulis tanpa moral, maka yang terjadi rekayasa hukum yang sangat tidak
berkeadilan. Demikian pula, apa pun produk manusia bila tidak didasari
kesadaran hati sejati yang adalah Bait Allah, produk itu menyimpan konflik.
Yang sering kita saksikan adalah konflik terbuka akibat egoisme yang kasat mata
merugikan banyak orang, misalnya kerusakan lingkungan ketika yang berwenang
mengeksploitasi sumberdaya alam dengan serakah. Padahal apabila kita cermati,
banyak produk manusia yang tampaknya baik tetapi sesungguhnya buah dari
egoisme, ia menyimpan konflik. Tetapi karena sikap lebih baik mengalah dan diam
atau karena tidak berdaya, maka seolah-olah tidak ada konflik. Banyak orang
mengukur konflik dari yang kasat mata, padahal di balik itu ada api di dalam
sekam yang tak bisa dianggap enteng.
Membangun Habitus Baru
Segala sesuatu, apa pun itu, selalu dimulai dari kebiasaan. Demikian juga
menggunakan kesadaran pikiran menjadi kebiasaan karena biasa mengandalkan
pikiran, menganggap pikiran analitis mampu menyelesaikan berbagai masalah
kehidupan. Ki Ageng Surya Mentaram dalam salah satu
piwulangnya
mengatakan, bila orang memakai baju untuk semata memenuhi kebutuhan rasa,
meskipun telah memiliki seratus baju, masih merasa kurang; sebaliknya apabila
baju untuk memenuhi kebutuhan raga, tiga potong baju sudah lebih dari cukup,
karena satu dipakai, yang dua disimpan dan dicuci. Maksud dari ajaran ini,
hendaknya kita hidup proporsional, barang yang kasat mata dipakai untuk
memenuhi yang kasat mata, yakni raga, tetapi yang bukan kasat mata harus
dipenuhi dari yang tidak kasat mata.
Dari sini pula hendaknya orang hidup menggunakan kesadaran pikiran untuk
menyelesaikan masalah-masalah teknis dalam pekerjaan sehari-hari, contoh sepele
memasak air, kita gunakan pikiran untuk mencari air, menyiapkan tungku, menyalakan
api, dan seterusnya. Ketika untuk menyelesaikan hal-hal yang bersifat batin,
misalnya dalam berelasi dengan orang lain atau kegiatan spiritual, hendaknya
juga menggunakan kesadaran batin
(awareness), sehingga bisa menerima
orang lain secara apa adanya tanpa intervensi pikiran untuk beropini dan
menghakimi, atau membuka rekaman masa lalu dalam berelasi, padahal setiap orang
setiap saat berubah. Sikap ini mungkin ada yang menilai menjadi pribadi yang
tidak peduli dengan lawan bicaranya. Jangan salah, karena menggunakan
awareness, justru responnya
love and compassion seperti yang
diharapkan oleh lawan bicara (bukan opini dan mengadili).
Untuk menjadikan
awareness kebiasaan, dibutuhkan niat meluangkan
waktu rutin berlatih dalam doa hening yang tidak berpusat pada diri sendiri,
melainkan kepada Gusti
ingkang Maha Tan Kinira (bukan Gusti menurut
image
atau konsep saya), dengan sadar atau
eling setiap saat tanpa daya upaya
sampai dengan sendirinya si “aku” hilang. Sikap ini serupa ketika, misalnya
kesemutan di kaki karena lama duduk bersila, atau kegerahan dalam suatu ruangan
yang pengap. Bila kita bisa menyadari atau
eling menerima apa adanya
tanpa beropini bahwa kesemutan atau kegerahan akan mencelakakan diriku karena
membuatku tidak bisa berdiri atau dehidrasi, pasti sensasi fisik berupa
kesemutan dan kegerahan akan hilang dengan sendirinya. Inilah makna dari “
eling
setiap saat” menerima hal secara apa adanya tanpa opini. Dalam doa hening
“sesuatu yang lain” itu tidak dikejar dengan daya upaya. Datangnya “sesuatu
yang lain” sepenuhnya merupakan rahmat yang datang tanpa diantisipasi, tanpa
diduga, tanpa diinginkan sebelumnya. Rahmat tersebut datang ketika diri atau si
“aku” lenyap. Akhir perjalanan tidak dicapai dalam suatu waktu tertentu sebagai
hasil pergulatan panjang oleh si “aku”, melainkan terlahir setiap saat ketika
si “aku” lenyap karena
eling setiap saat.
Ada
manfaatnya juga bila kita mengingat arti kata “sekolah” seperti aslinya.
Sekolah dari bahasa Yunani
skula yang artinya saat teduh, ketika orang
menggunakan waktu luangnya untuk mengembangkan kekuatan batinnya. Kekuatan
batin ini akan menghasilkan buah-buah pikiran yang cerdas untuk membangun
budaya kehidupan dan menjaga keselarasan dengan alam. Sekolah modern sangat
jauh dari konsep waktu teduh, apalagi untuk pengembangan kekuatan batin.
Sekolah saat ini sangat bergantung pada kekuatan pikiran analitis yang
membuahkan sikap defensif dan mementingkan diri sendiri. Demikian pula
menghayati agama dengan pikiran akan membuahkan egoisme dalam ber-Tuhan, Allah
direduksi sebagai Allah sesuai
image-ku dan untuk memenuhi kemaunku,
bukan kehendak-Nya Yang Maha
Tan Kinira.
Buah Retret Meditasi Tanpa Objek
Tulisan ini buah dari keikutsertaan dalam retret “Titik Hening – Meditasi
Tanpa Objek”, pada tanggal 14 sampai dengan 18 Nopember 2012 di Rumah Retret
Susteran OSF Muntilan, yang didampingi oleh Rama J. Sudrijanta SJ. Penulis
rasakan bahwa retret tersebut bermanfaat sebagai bekal melanjutkan peziarahan
hidup,
njangkepi lelakoning urip, bukan sebagai ilmu, tetapi sebagai
ngelmu
yang harus dihayati dengan membiasakan
eling setiap saat.
Ngelmu iku
kelakoni kanthi laku, harus dihayati tekun bermeditasi
eling setiap
saat tidak hanya selama duduk hening dalam waktu khusus (seperti yang penulis
ketahui tentang metode meditasi selama ini), tetapi juga saat mengayunkan dan
mengangkat kaki ketika sedang berjalan, makan, minum, atau apa pun yang sedang
dilakukan, harus selalu
eling, karena ukuran sukses retret bisa membuat
keseharian hidup nyaman, selalu
fresh tanpa ego,
peaceful, menghayati
love and compassion dalam berelasi dengan keluarga, rekan kerja, komunitas,
dan siapa pun. Selain itu, penulis juga ingin belajar menggunakan pikiran
secara efektif ketika ia benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan sesuatu, tidak
membuang energi karena si “aku” defensif.
Sembah nuwun, Rahayu, Berkah
Dalem.
*) P.
Kusuma Wirawan (KRT. Kusuma Wijaya), Pandhemen Temu Kebatinan Komisi Hubungan
antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.
Tulisan
ini dimuat di majalah UTUSAN, No.02 Tahun ke 63, Pebruari 2013 dengan judul
“Eling Setiap Saat” dan pada tanggal 6 Pebruari 2013 di blog Rm. J. Sudrijanta,
SJ: www.meditativeestate.wordpress.com