Kamis, 28 Februari 2013

Renungan Lepas.



PIWULANG URIP MAMPIR NGOMBE.

Menurut piwulang/ ajaran kearifan Jawa, hidup manusia di dunia ini seupama mampir minum (ngombe). Mampir ngombe adalah bagian dari sangkan paraning urip (dari mana datangnya hidup dan kemana tujuan manusia setelah dari dunia), artinya keberadaan manusia sebagai ciptaan Allah paling sempurna di dunia ini karena dicintai Allah, dipilih Allah, selanjutnya diutus Allah untuk mengelola alam untuk hidup dan kehidupnnya dengan sebaik-baiknya bersama ciptaan lainnya. Dan apabila Allah menganggap sudah cukup, manusia dipanggil kembali dari dunia oleh Allah untuk mempertanggung jawabkan perutusannya selama menjalani hidup di dunia.
Hidup manusia di dunia ini disebut mampir karena diyakini bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar apabila dibanding kehidupan kekal setelah meninggalkan dunia. Kehidupan di dunia semua orang hidup mengalaminya, tetapi kehidupan kekal belum dialami oleh yang masih hidup di dunia, dan kehidupan di dunia ini disebut sebagai peziarahan hidup.
Karena orang yang masih hidup di dunia belum mengalami kehidupan kekal, dan mereka yang sudah berpulang tidak pernah kembali atau setidaknya memberi kabar keadaannya kepada yang masih menjalani peziarahan hidup, menjadikan sebagian orang yang masih hidup di dunia kuatir, apakah kelak dirinya akan memperoleh ketentraman dan kedamaian hidup kekal atau tidak. Karena sangat kuatirnya, sering sampai lupa dengan apa yang sekarang ini masih dijalani yakni hidup di dunia.
Maka ajaran ini menasihatkan bahwa selama manusia masih diperkenankan oleh-Nya menjalani hidup, hendaknya mau mengelola hidupnya dengan baik bersama orang lain dan diptaan lain, sebagai ungkapan syukur atas karunia hidup dari Allah. Manusia bisa mengasihi Allah karena Allah sudah lebih dulu mengasihi manusia, dan apabila ada orang mengatakan dirinya mengasihi Allah tetapi membenci sesamanya dan alam semesta, orang tersebut bohong, bagaimana mungkin bisa mengabdi dan mengasihi Allah yang tidak kelihatan, sedangkan kepada sesamanya yang kelihatan tidak bisa. Tegasnya barang siapa mengabdi dan mengasihi Allah, maka iapun harus mengasihi sesama hidup dan alam semesta.
Meskipun manusia hidup disebut sebagai mampir ngombe, tetapi tidak berarti apa saja boleh diminum, yang bukan haknya diminum.
Ada empat hal yang bisa dan harus diminum selama masih hidup di dunia, yakni:
  1. Ngombe raos (minum rasa); melakukan seperti apa yang dikehendaki orang lain berbuat kepadanya (tepaslira), ngajeni atau menghormati hidup dan kehidupan, menghormati hak azasi manusia, membangun budaya kehidupan.
  2. Ngombe ngelmu; mengolah batin sesuai ajaran agamanya atau kepercayaannya, tekun belajar dari Kitab Suci yang menjadi tuntunannya, merenungkannya dalam keheningan doa untuk maneges apa yang dikehendaki Sang Pencipta kepada dirinya, selanjutnya mau mengamalkannya dalam hidup sehari-hari, dalam perbuatan baik kepada sesama dan alam semesta (Necep Sabda Dalem Gusti, Neges Kersa Dalem Gusti, ngemban dhawuh Dalem Gusti).
  3. Ngombe pangertosan; menuntut ilmu pengetahuan, mengasah akal budi, dan semua ilmu pengetahuan yang diperolehnya harus diterima dengan penuh syukur kepada Allah, serta diamalkan dalam perbuatan untuk kebaikan sesama dan alam semesta. Dalam ajaran ini disebut “sing sapa ngombe kudu nguyuh” (barang siapa minum harus kencing).
  4. Ngombe lelampahaning gesang; rela menerima semua pengalaman hidupnya. Meskipun pengalaman hidup itu beraneka ragam, tetapi sejatinya hanya ada dua hal, yakni yang menggembirakan dan yang menyusahkan, tetapi keduanya tidak ada yang langgeng, dan datangnya selalu bergantian, kadang gembira, kadang susah. Maka hendaknya apabila sedang mengalami kegembiraan, jangan merasa bahwa kegembiraan tersebut langgeng, karena apabila menganggap langgeng bisa menjadi sandungan hidupnya, takabur dan menjadi sombong. Demikian pula sebaliknya, apabila menganggap kesedihan itu kekal, bisa membuat putus asa, tak memiliki pengharapan, atau sebaliknya justru menjadikan dirinya nekat, apa saja diminum, bukan haknya juga diminum. Dalam menjalani ajaran ini ada sebagian orang mengolah batinnya dengan mengambil hikmah dari pengalaman hidupnya sendiri, dan atau orang lain. Cara demikian ini disebut hidup mendasarkan pada “Kitab Lelakoning Urip” menggenapi Kitab Suci.
Apabila manusia mampu meminum empat perkara hidup tersebut, maka orang tersebut menjadi lengkap hidupnya, karena sudah bisa merasakan hidup sejati dan sejatinya hidup, tidak hanya hidup-hidupan atau asal hidup. Sikap tersebut menumbuhkan kesadaran hati bahwa meskipun manusia mencintai dunia seisinya, tetapi apabila sudah saatnya Allah menghendaki dirinya harus meninggalkan dunia, dengan ikhlas hati ybs meninggalkan dunia seisinya menuju tempat yang diyakininya lebih indah dan baik daripada ketika masih menjalani peziarahan hidup di dunia.
Rahayu, rahayu, rahayu...

P. Kusuma Wirawan (KRT. Kusuma Wijaya),
Blog: kusumawirawan.blogspot.com

RenHar 28 Pebruari 2013.


RenHar Kamis Pon 28/2
Yer 17:510
Luk 16:19-31
Sabda Allah melalui Kitab Yeremia & Injil hari ini tentang Lazarus serta permintaan orang kaya kepada Allah supaya Lazarus ke rumah orang tuanya, adalah juga peringatan bagi kita yang masih menjalani peziarahan hidup. 
Yakni supaya kita dalam segala hal mau mengandalkan Allah, tekun dalam doa hening & eling setiap saat, serta matiraga, supaya hati ini terasah untuk selalu mau peduli & berbagi kasih kepada siapa saja.
(mengasah hati)

Rabu, 27 Februari 2013

RenHar 27 Pebruari 2013.


RenHar Rabu Pahing 27/2
Yer 18:18-20
Mat 20:17-18
Hari ini kita diingatkan Allah, perlunya menyadari bahwa dalam diri kita selalu ada benih egoisme, dan inilah penghalang mewujudkan perutusan Allah yang diberikan kepada kita: “Sama seperti Anak Manusia: Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani,...” 
Dengan diiringi doa, matiraga & laku eling setiap saat (meski tak bisa sempurna), kita bisa menjadi pribadi yang mau melaksanakan kehendak-Nya (ngemban dhawuh Dalem Gusti.)

Selasa, 26 Februari 2013

RenHar 26 Pebruari 2013.


RenHar Selasa Legi 26/2
Yes 1:10.16-20
Mat 23:1-12
Sabda Yesus dalam Injil hari ini tentang ahli Taurat yang hanya pandai mengajarkan tetapi tidak melakukan. Sabda  tersebut juga ditujukan kepada kita, karena sering mudah melihat kelemahan sesama, tetapi permisif terhadap kesalahan sendiri. 
Masa Prapaskah yang sekaligus sebagai Tahun Iman ini, saatnya kita mawas diri, bertobat & memperbaiki diri. 
(jangan JARKONI, hanya bisa mengajar tetapi tak bisa nglakoni/ menjalani).

Senin, 25 Februari 2013

RenHar 25 Pebruari 2013.


RenHar Senin Kliwon 25/2
Dan 9:4b-10
Luk 6:36-38
Injil hari ini mengingatkan bahwa hidup ini seperti gaung dari teriakan kita, kalau yang kita teriakkan tentang kebaikan maka yang kita terima juga kebaikan & sebaliknya. 
Demikian pula alam yang diciptakan-Nya selalu mencari keselarasan, bila kita rawat dengan baik maka alampun selalu baik dengan kita & sebaliknya.
Ini menyadarkan kita bahwa hidup ini semata-mata karena belas kasih Allah, oleh sebab itu harus selalu kita syukuri dengan sikap dan perbuatan baik kepada sesama tanpa diskriminasi.
Teladani saudara kita yang dalam segala hal selalu mengutamakan belas kasih.
(murah hati seperti Allah).

Minggu, 24 Februari 2013

RenHar 24 Pebruari 2013.


RenHar Minggu Wage 24/2
Kej 15:5-12.17-18
Fil 3:17-4:1
Luk 9:28b-36
Secara naluri pikiran manusia itu egois, sehingga saat mengalami kegembiraan maunya langgeng. 
Demikian juga yang dialami Petrus dan kawan-kawan dalam Perikop Injil hari ini.
“Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” 
Sabda Allah tersebut adalah peringatan bagi kita, supaya kita saling menguatkan untuk rela hidup menyangkal diri, memanggul salib, setia & taat mewartakan keselamatan kepada siapa saja, dalam sikap, tutur kata & perbuatan hidup sehari-hari. (dengarkanlah Dia)

Sabtu, 23 Februari 2013

RenHar 23 Pebruari 2013.


RenHar Sabtu Pon 23/2
Ul 26:16-19
Mat 5:43-48
Di masyarakat yang makin mudah mengkafirkan orang lain sekarang ini, kita ditantang Yesus untuk mau mewujudkan perintah-Nya mengasihi musuh & berdoa bagi mereka, karena Allah menerbitkan matahari & memberi hujan bagi orang baik & jahat.
Apakah kelebihan kita apabila hanya mengasihi orang yang mengasihi kita? 
Karena orang jahat & tidak mengenal Allah pun berbuat demikian.
Kita diutus hidup sempurna seperti Allah Bapa & tidak takut dengan yang hanya bisa membunuh raga.  
(matahari diterbitkan-Nya untuk semua orang)

Jumat, 22 Februari 2013

Renungan Lepas.

Mukjizat Setiap Saat.

By J Sudrijanta
Setiap orang rata-rata mengalami mukjizat sekali dalam setiap bulan. Teori mukjizat “sekali sebulan” itu disebut dengan Teori Mukjizat Littlewood karena ditemukan oleh seorang ahli Matematika yang bernama Profesor John Edensor Littlewood dari Cambridge University pada tahun 1986. 
Mukjizat di sini didefinisikan secara sederhana sebagai peristiwa yang luar biasa yang memiliki makna spesifik bagi orang yang mengalami. Peristiwa luar biasa ini berlangsung dengan frekuensi 1:1 juta. 
Saat manusia berada dalam keadaan sadar-terjaga, tidak pingsan atau tidur, ia akan melihat atau mendengar satu “peristiwa” per detik, entah peristiwa biasa atau tidak biasa. Dengan asumsi bahwa lama waktu orang sadar-terjaga adalah 8 jam per hari, maka orang mengalami sekurang-kurangnya 1 juta peristiwa selama 35 hari.
Hitungannya adalah sebagai berikut:
- 8 jam x 3.600 detik per jam = 28.800 peristiwa per 8 jam per hari.
- 28.800 peristiwa x 35 hari = 1.008.000 peristiwa dalam 35 hari.
Tentu saja orang yang banyak melakukan aktivitas memiliki kesempatan mengalami lebih banyak peristiwa yang beragam dibanding kalau orang hanya duduk-duduk saja di depan TV atau komputer. Tetapi banyaknya peristiwa yang dialami tidak menentukan banyaknya mukjizat yang bisa dilihat. Yang menentukan peristiwa luar biasa yang bisa dilihat ditentukan oleh kualitas keadaan sadar-terjaga.
Berbeda dengan Littlewood. Peristiwa yang luar biasa sesungguhnya sudah terjadi setiap saat, hanya kita tidak melihat. Untuk bisa melihat, kita perlu membuka batin, membuka mata. Agar mata dan batin kita terbuka, kita perlu sadar-terjaga pada tingkatan yang lebih dalam.
Terdapat dua tingkat keadaan sadar-terjaga. Tingkat pertama adalah  sadar-terjaga masih dipengaruhi oleh pikiran dan tingkat kedua adalah sadar-terjaga tidak dipengaruhi oleh pikiran. 
Orang yang tidak mempraktikkan kesadaran dan hidup dengan kesadaran tingkat pertama, punya kesempatan mengalami mukjizat sekali sebulan. Orang yang mempraktikkan kesadaran dan hidup dengan kesadaran tingkat kedua, punya kesempatan lebih banyak untuk dapat melihat atau mengalami lebih banyak peristiwa luar biasa dari saat ke saat.
Mukjizat yang dilihat dari kesadaran tingkat kedua tidak selalu terkait dengan hal-hal “fisikal” seperti penyembuhan dari penyakit, keberhasilan dalam bisnis atau pekerjaan, ketemu jodoh, dan semacamnya, tetapi juga dan terutama terkait dengan hal-hal “non-fisikal” seperti terbebasnya batin secara total dari konflik dan pergulatan, harmoni dalam relasi, tanggalnya kelekatan dan keterkondisian, kejernihan dalam melihat atau mendengar, mekarnya batin dalam kecerdasan, cinta dan welas asih.
Melihat dari keadaan sadar-terjaga tingkat kedua, dimana pikiran sama sekali tidak mengotori proses melihat, membuat kita berjumpa dengan peristiwa seperti apa adanya, bukan peristiwa seperti yang kita harapkan, kita inginkan, kita pikirkan.
Mengapa orang berharap mengalami mukjizat? Bukankah karena orang tidak melihat peristiwa sebagai apa adanya, lalu orang berharap terjadinya mukjizat? Bukankah harapan terjadinya mukjizat justru menjauhkan orang dari apa adanya? Bukankah mukjizat sudah berlangsung setiap saat ketika terdapat melihat dari keadaan sadar-terjaga bebas pikiran?
Jadi, mana lebih penting, berharap atau melihat–berharap terjadi mukjizat yang sesungguhnya sudah berlangsung setiap saat– atau melihat?*

RenHar 22 Pebruari 2013.


RenHar Jumat Pahing 22/2
1Ptr 5:1-4
Mat 16:13-19
Di Pesta Tahta Santo Petrus hari ini, kita teladani sikap Santo Petrus yang mau belajar dari perjalanan hidupnya yang tidak selalu baik. 
Karena sadar akan kelemahannya, Santo Petrus akhirnya mengandalkan Allah. 
Menyadari bahwa semua titah punya kelemahan, maka kitapun harus mau peduli kepada sesama, karena siapapun dan apapun dia, dia adalah rekan sepeziarahan hidup kita. 
(Petrus pemimpin yang melayani)

Kamis, 21 Februari 2013

RenHar 21 Pebruari 2012.


RenHar Kamis Legi 21/2
Tamb Ester 4:10a.10c-12.17-19
Mat 7:7-12
“Mintalah maka kamu akan diberi, carilah maka kamu akan mendapat, ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu.” 
Sabda Allah tersebut bukti betapa besar cinta kasih Allah kepada kita umat-Nya. 
Kita tanggapai cinta kasih Allah kepada kita dengan mau diutus hidup tepaslira, 
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka”
Kita juga  harus selalu menyadari bahwa rencana kita belum tentu rencana-Nya, karena Allah selalu memberikan yang terbaik kita perlukan, tetapi bukan yang kita inginkan.
(andhap asor & tepaslira).

Rabu, 20 Februari 2013

RenHar 20 Pebruari 2013.


RenHar Rabu Kliwon 20/2
Yunus 3:1-10
Luk 11:29-32
Di masa Prapaskah Tahun Iman sekarang ini, kita diutus semakin tekun memeriksa  batin (meditasi/nglimbang2), sehingga kita tanggap akan Sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci & mau bertobat, karena Tuhan Yesus adalah tanda bagi kita. 
Dengan selalu sadar bahwa Tuhan selalu hadir di hati kita dan melalui sesama kita, maka kita akan semakin mengimani Allah, yang kita ungkapkan dalam perbuatan welas asih tresna kepada siapa dan apa saja tanpa diskriminasi. 
(Tuhan Yesus adalah tanda bagi kita)

Selasa, 19 Februari 2013

Renungan Lepas.



Melampaui Kebaikan dan Kejahatan

Oleh J. Sudrijanta.

Konflik antara kebaikan dan kejahatan sudah berusia tua, tetapi wajah peradaban manusia tidak lebih baik dibanding generasi-generasi sebelumnya. Meluasnya berbagai bentuk kejahatan disebabkan oleh banyak factor. Salah satunya adalah cara-cara manusia dalam “melenyapkan kejahatan demi kebaikan”– atau lebih tepat “melenyapkan apa yang dipersepsikan sebagai kejahatan demi kebaikan”. Cara-cara yang dipakai dan dibenarkan untuk melenyapkan kejahatan untuk mencapai kebaikan justru menciptakan kejahatan yang lebih banyak
Ada banyak konsep tentang kebaikan dan kejahatan, dan konsep-konsep tersebut sangat dipengaruhi oleh system nilai yang dianut. Semua konflik antara kebaikan dan kejahatan berakar pada konflik system nilai.
Dari system nilai yang kita anut, kita mempersepsikan apa yang kita pandang baik dan apa yang kita pandang jahat. Persepsi pikiran kita tentang apa yang baik dan apa yang jahat dengan merujuk pada system nilai yang kita anut sering kali keliru. Apa yang dipersepsikan sebagai kebaikan seringkali adalah wajah kejahatan yang lain. Kita tidak akan melihat apa yang sungguh baik hanya dengan merujuk pada system nilai, tanpa melihat apa yang jahat sebagai yang jahat melampaui nilai-nilai.
Selain itu, apa yang kita persepsikan sebagai kejahatan di luar sesungguhnya tidak berbeda dengan fakta yang kita temukan dalam diri kita sendiri. Kita seringkali mengritik perilaku korupsi dari para pemimpin negeri ini. Tetapi selama kita sendiri tidak bebas keserakahan, sesungguhnya kita tidak berbeda dari mereka yang kita kritik. Bedanya, mereka memiliki kesempatan untuk korupsi, sedangkan kita tidak. Tetapi akar kejahatan dari mereka yang kita kritik tidak berbeda dengan kita. Kalau kita memiliki kesempatan yang sama, barangkali kita akan senasib seperti mereka. Maka jauh lebih penting pertama-tama menyelami apa esensi kejahatan dengan menilik batin kita masing-masing dan bukan mengumpulkan segala kekuatan untuk melenyapkan kejahatan demi kebaikan tanpa memahami esensinya.
Ada banyak bentuk kejahatan tetapi semua kejahatan berakar pada ketiga hal ini: keserakahan, kebencian, dan delusi. Marilah kita melihat esensi dari kejahatan dengan melihat akar dari setiap kejahatan.

Keserakahan
Keserakahan adalah keinginan untuk selalu mendapatkan apa yang kita suka bagi kepentingan diri sendiri lebih dari apa yang kita butuhkan untuk kelangsungan hidup dasariah. Apa yang kita sukai? Apa saja yang sama dengan keinginan, harapan, impian, minat, kepentingan kita, itulah objek-objek yang kita sukai. Bentuknya bisa beragam, misalnya uang, kekayaan, status, kekuasaan, dst.
Mengapa timbul keserakahan? Keserakahan timbul karena batin selalu merasa kurang dan tidak bisa mengatakan cukup. Batin yang serakah selalu mencari apa yang lebih, meskipun apa yang didapatkan tidak pernah bisa menutup apa yang kurang.
Keserakahan memiliki kontradiksi dalam dirinya; ia menipu dirinya sendiri. Keserakahan mau mendapatkan yang serba lebih, tetapi justru membuat kita lebih banyak merasa kurang. Jadi, mana lebih penting: mencari yang lebih untuk mengisi yang kurang dan tetap kurang atau menyelesaikan problem merasa selalu kurang dan tidak pernah cukup?

Kebencian
Kebencian adalah penolakan, permusuhan, kemarahan terhadap apa saja yang tidak kita suka. Apa yang tidak kita sukai? Apa saja yang berbeda dengan keinginan, harapan, impian, minat, kepentingan kita, itulah objek-objek yang kita benci.
Mengapa timbul kebencian? Kebencian timbul karena batin tidak suka dengan apa yang berbeda dengan pendiriannya. Setiap perbedaan dipersepsikan sebagai ancaman.  Kalau setiap perbedaan kita persepsikan sebagai ancaman, maka kita akan selalu hidup dengan kebencian karena keberbedaan itu akan selalu ada bersama kita.
Seperti halnya keserakahan, kebencian memiliki kontradiksi dalam dirinya; ia menipu dirinya sendiri. Kebencian mau membuang apa yang tidak disukai, tetapi justru menciptakan lebih banyak hal yang tidak disukai. Jadi, mana lebih penting: mengenyahkan apa saja yang berbeda dengan pendiriannya dan pergulatan itu tidak akan pernah berakhir atau menyelesaikan problem merasa selalu terancam terhadap apa saja yang berbeda?

Delusi
Delusi atau waham adalah keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta. Misalnya ungkapan berikut ini: “Perdamaian harus ditegakkan dengan perang.”; “Kemajuan hanya bisa dicapai dengan konflik.”; “Lebih banyak memiliki membuat kita lebih bahagia.” Dalam setiap bentuk keserakahan dan kebencian, sudah terdapat delusi.
Banyak sekali delusi yang kita bawa dan mempengaruhi cara kita berelasi. Anda bisa menambah daftar panjang delusi ini.
Delusi yang paling halus dan paling tidak mudah dibongkar adalah adanya konsep ego atau si aku yang secara aktuil mempengaruhi cara kita hidup. Ego inilah pusat konflik dan pusat keterpecahan.

Batin yang Seimbang
Tidak ada kekuatan jahat yang bisa menyentuh kita tanpa membangkitkan keserakahan, kebencian, dan delusi. Keserakahan menciptakan teman-teman dengan sifat yang sama dengan pendirianya. Kebencian menciptakan musuh-musuh dengan sifat yang berbeda dengan pendiriannya. Delusi menciptakan liyan sebagai sesuatu yang asing dari kita. Dari tiga akar kejahatan ini berkembang semua kedurhakaan lainnya.
Kualitas batin seperti apa yang membuat kekuatan kejahatan tidak mampu menyentuh kita? Kualitas ini disebut dengan keseimbangan batin (equanimous mind). Batin yang seimbang adalah batin yang tidak tergoyahkan oleh objek-objek di luar atau di dalam batin, entah objek yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan kata lain, batin yang seimbang adalah batin yang bebas keserakahan, bebas kebencian, dan bebas delusi.

Kebaikan Tidak Memiliki Lawan
Akar kejahatan ini seperti benih yang bisa tumbuh dan membesar. Ia tumbuh karena kita memberi makanan kepadanya untuk tetap hidup dan makanan itu adalah pikiran dan keinginan kita sendiri.
Ada seorang anak yang tinggal bersama kakeknya di pinggir hutan. Hampir setiap hari ia melihat dua serigala datang mendekati rumahnya. Yang satu tampak baik, sopan dan penurut; yang lain tampak agresif, penuh keserakahan dan kebencian. Anak ini bertanya, “Di antara dua serigala ini, siapa yang  akan menang saat mereka berkelahi?” Kakeknya menjawab, “Yang menang adalah serigala yang saya beri makan.”
Kebaikan dan kejahatan itu juga seperti dua serigala yang berkelahi. Siapa yang menang tergantung kepada siapa Anda memberi makan.
Tetapi kalau kita mau menyaksikan berakhirnya secara total konflik antara kebaikan dan kejahatan, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, kita perlu belajar untuk berhenti dari kebiasaan memberi makan.
Kejahatan selalu memiliki lawan. Tetapi Kebaikan yang sesungguhnya tidak memiliki lawan. Apa yang kita persepsikan sebagai kebaikan adalah wajah lain dari kejahatan selama kita masih memiliki musuh. Kebaikan yang sesungguhnya hanya terlahir ketika kejahatan dan sisi lawannya berakhir.

RenHar 19 Pebruari 2013.


RenHar Selasa Wage 19/2
Yes 55:10-11
Mat 6:7-15
Kita diutus meneladani Yesus yang selalu berdoa sebelum & sesudah melakukan pekerjaan. 
Kita biasakan selalu berdoa hening dengan hati & berkomunikasi dengan Allah (ucapkan dengan hati setiap kata dalam doa & bukan hanya kita yang nrocos berbicara, tetapi juga mau neges kersa Dalem Gusti). 
Tuhan lebih tahu yang kita perlukan, oleh sebab itu dalam Injil hari ini Yesus menegaskan apabila kita berdoa jangan bertele-tele.
(Bapa Kami)

Senin, 18 Februari 2013

RenHar 18 Pebruari 2013.


RenHar Senin Pon 18/2
Im 19:1-2.11-18
Mat 25:31-36
Masa PraPaskah saatnya kita membiasakan diri tekun dalam doa, matiraga & berbelas kasih, karena:
Dalam doa kita menyadari segalanya hanya terjadi karena dan dari Allah. 
Dalam matiraga kita menyadari bahwa hidup ini tidak tergantung pada hal-hal yg duniawi, tetapi hanya tergantung kepada Allah. 
Dalam berbelas kasih, terutama kepada mereka yg KLMTD (kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel) itu kita lakukan karena hidup kita inipun semata-mata berkat kasih yang tak berkesudahan dari Allah. 
(donga, matiraga & welas asih).

Minggu, 17 Februari 2013

Renungan Lepas.



PIWULANG “MANUNGGALING KAWULA GUSTI

PiwulangManunggaling Kawula Gusti” (Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan) adalah ajaran Jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia (Manunggaling Gusti Kawula).

Diyakini bahwa karena belas kasih-Nya maka sejak manusia diciptakan, Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya. Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain.

Upaya diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok dengan laku glenikan sehingga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut ajaran (piwulang atau kawruh)Manunggaling Kawula Gusti”,  sebagai berikut :

  • Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
  • Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih (mbancindhe mbansiladan) hanya untuk kepentingan dirinya sendiri (egois). Contoh : Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik/ non phisik, pemarah, dan lain sebagainya karena dilakukannya secara normatif, agamis tanpa hati sejati. Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dan lain-lain. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih : oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, dan sebagainya.
  • Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri (egois) menjadi kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
  • Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati: tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara rutin dengan tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih). Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan).
  • Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan keadaan/ peristiwa seperti apa adanya, tidak memaksakan kehendak, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dlsb. Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat kepada sesame atau ngajeni sesamining gesang. Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan membangun budaya kehidupan.
  • Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata kepada sesama dan alam semesta, tidak hanya dipikirkan, karena ngelmu iku kelakone kanthi laku. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati atau kesadaran melampaui pikiran maka Tuhan dapat diperoleh, tetapi hanya dengan pikiran analitis tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan,  demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran, tanpa memaksakan diri, bisa menyadari kehadiran-Nya
  • Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih kepada sesama, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan secara apa adanya tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur. Tidak ada rasa irihati, sombong, takut, kuatir, tegang, serta dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
  • Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau  Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan bisa mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatif. Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatif yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik.
  • Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan kesadaran hati sejati sebagai nakhodanya. Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini kiranya relevan untuk bekal hidup di jaman  orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri/ kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa ada kesadaran hati sejati (kesadaran melampaui pikiran). Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, ukurannya untung rugi, kalah menang, pembenaran diri yang berbuntut mudah diadu domba, konflik berkedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dlsb yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab, jauh dari upaya membangun budaya kehidupan. Disadari atau tidak, hal ini akan mempengaruhi juga cara hidup spiritual keagamaan seseorang. Matur sembah nuwun, Rahayu, Rahayu, Rahayu.

 KRT. Kusuma Wijaya / P. Kusuma Wirawan.
Pandhemen Kawruh  Jawa
Blog: kusumawirawan.blogspot.com

RenHar 17 Pebruari 2013.



RenHar Minggu Pahing 17/2
Ul 26:4-10
Rm 10:8-13
Luk 4:1-13
"Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulutnya orang mengaku dan diselamatkan." 
Kutipan Bacaan Kitab Suci hari ini tersebut menjadi kekuatan kita yang hidup di jaman edan sarat godaan ini.
Sebagai insan yang bebas merdeka hendaknya kita tidak melempar tanggung jawab kepada setan ketika kita berbuat dosa & kesalahan.
Sugeng ndherek Bojana Ekaristi Minggu Prapaskah I, nyuwun kekiyatan Dalem Gusti.
(eling lan waspada).


Sabtu, 16 Februari 2013

RenHar 16 Pebruari 2013.



RenHar Sabtu Legi 16/2
Yes 58:9b-14
Luk 5:27-32
Peristiwa orang Farisi bersungut-sungut karena Yesus makan di rumah Levi, sampai sekarang masih terjadi di sekitar kita, yakni stigma kepada orang yang dinilai tidak baik. 
Kita teladani Yesus yang selalu berbela rasa & bersikap positif kepada siapa saja. 
Karena, kita percaya bahwa setiap orang setiap saat berubah; stigma buruk kepada yang bersangkutan telah membebaninya (kita perlu tepaslira, bagaimana apabila hal itu terjadi pada kita, karena kitapun juga tidak sempurna), serta jadikan semua itu sebagai pelajaran hidup kita atau ambil hikmahnya. 
(selalu bersikap positif)

Jumat, 15 Februari 2013

RenHar 15 Pebruari 2013.



RenHar Jumat Kliwon 15/2
Yes 58:1-9a
Mat 9:14-15
Kutipan Kitab Yesaya hari ini: "Mengapa kami berpuasa & Engkau tidak memperhatikan juga? Mengapa kami merendahkan diri & Engkau tidak mengindahkan juga? Tuhan menjawab; Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah & berkelahi.., Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman..." 
Hanya kita yang tahu apakah Sabda Allah tersebut juga ditujukan kepada kita atau tidak?  
(jujur & bertobat)   

Kamis, 14 Februari 2013

RenHar 14 Pebruari 2013.



RenHar Kamis Wage 14/2
Ul 30:15-20
Luk 9:22-25
Sabda Tuhan: "Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal dirinya..."
Artinya, kita diutus untuk hidup tidak egois. 
Cara efektif menghilangkan egoisme adalah eling setiap saat dengan hati (kesadaran melampaui pikiran) sampai si "aku" hilang. 
Satukan laku tersebut dengan doa & matiraga, niscaya Allah menolong kita bisa hidup nyaman tanpa ego, peacefull, love & compassion dalam berelasi dengan siapa saja. 
(hidup menyangkal diri)

Rabu, 13 Februari 2013

RenHar 13 Pebruari 2013.



RenHar Rabu Pon 13/2
Yoel 2:12-18
2Kor 5:20-6:2
Mat 6:1-6.16-18
Hari ini Rabu Abu, kita memasuki masa puasa, diingatkan bahwa puasa bukanlah tujuan tetapi sarana melimbang-limbang supaya hidup semakin berkualitas, karena tekun necep Sabda Dalem, neges Kersa Dalem, sehingga mampu ngemban dhawuh Dalem Gusti dalam hidup sehari-hari. 
"Karena Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan mengganjar engkau."
Mari kita hidup tidak seperti orang munafik supaya hanya ingin dilihat orang. 
(aja pijer mangan nendra)

Selasa, 12 Februari 2013

RenHar 12 Pebruari 2013.



RenHar Selasa Pahing 12/2
Kej 1:20-2:4a
Mrk 7:1-13
"Maka Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, diciptakan-Nya laki-laki & perempuan. Allah memberkati mereka, lalu Allah bersabda kepada mereka; Beranakcuculah & bertambah banyak..."
Kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari, bahwa kita ini pribadi yang diciptakan Allah sesuai citra-Nya, yakni harus mau selalu berpikir dari hati (melampaui kesadaran pikiran).
Buahnya, setiap perkataan & perbuatan kita selalu penuh welas asih kepada siapa saja. 
(hidup sesuai citra Allah)

Senin, 11 Februari 2013

Renungan Lepas.


Kesadaran Hati dan Dialog Kehidupan

Umumnya, orang secara naluriah menggunakan kesadaran pikiran (thinking) dalam relasi antar pribadi, sehingga kadang ia tidak mudah menerima ucapan lawan bicaranya secara “apa adanya” sebagai objek pembicaraan yang netral. Mengapa? Karena setiap diajak bicara, ia sudah beropini (suka, setuju, baik, cocok, positif, negative, dan sebagainya). Naluri inilah yang seringkali menjadikan dialog tidak fokus.

Kesadaran pikiran berbeda dengan kesadaran melampaui pikiran (awareness). Awareness adalah kesadaran yang tidak lagi melibatkan pikiran analitis. Dalam bahasa Jawa ini disebut eling, atau menggunakan batin atau hati.  Meski demikian, suara hati tidak selamanya benar, karena hati cenderung dicemari oleh pikiran yang mencari rasionalisasi dan mementingkan diri sendiri. Di sinilah perlunya senantiasa menjaga hati.

Di dalam  kesadaran pikiran terdapat subyek si “aku” dan objek pembicaraan, sementara dalam awareness subyek atau si “aku” tidak ada, maka obyek tidak lagi disebut obyek, tetapi cukup disebut “apa adanya”. Meskipun hampir semua orang tahu bahwa semata-mata mementingkan diri sendiri tidak baik, tetapi dalam dialog orang sudah mementingkan diri sendiri sehingga tidak bisa menerima sikap lawan bicaranya. Sekali lagi, ini karena naluri mendorongnya untuk beropini, menilai, dan mungkin mengadili. Sikap ini adalah akibat dari reaksi ingatan atas peristiwa relasi masa lalu.

Meneladani cara dialog Bunda Maria dengan Yesus
Contoh dialog awareness secara jelas dapat kita lihat dari percakapan antara Bunda Maria dan Yesus dalam Injil Yohanes 2:1-11; Perkawinan di Kana. Sejak Bunda Maria menerima Kabar Gembira dari Malaikat Gabriel, ia berjanji untuk hidup setia: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Janji tersebut dihayati sepanjang hidupnya.

Dalam kisah perikope Injil Yohanes tersebut, Bunda Maria sangat peduli kepada si pemangku hajat. Ia tetap fokus ingin membantu supaya tidak kekurangan anggur. Ketika Bunda Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.” Kata Yesus kepadanya, “Mau apakah engkau daripada-Ku, Ibu? Saat-Ku belum tiba.” Mendengar ucapan Yesus tersebut, Bunda Maria tetap bersikap positif, fokus, dan tidak reaktif. Bunda Maria bisa menerima ucapan Yesus apa adanya, tanpa opini karena menggunakan kesadaran hati sejati, tanpa mementingkan diri sendiri.

Bayangkan apabila hal itu terjadi pada diri kita ketika berdialog, mungkin masalah bisa beralih karena pikiran secara naluriah mendominasi, sehingga si “aku” beropini. Bisa jadi yang awalnya berniat peduli kepada sesama akhirnya tidak bisa terwujud. Karena Bunda Maria tidak beropini, bisa menerima apa adanya ucapan Yesus, tetap fokus ingin membantu, maka berkatalah Bunda Maria kepada para pelayan (tidak menanggapi ucapan Yesus), “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” Akhir dari kisah ini kita semua tahu bahwa si pemangku hajat berkelimpahan anggur yang diubah Yesus dari air karena dialog Bunda Maria dengan Yesus yang awareness. Dalam dialog tersebut Yesus juga tidak reaktif terhadap ucapan Maria kepada para pelayan, karena Yesus-pun awareness.

Eling atau kesadaran hati inilah yang kiranya harus kita biasakan dalam hidup supaya bisa membangun relasi yang baik dengan sesama, terutama di dalam keluarga, lingkungan sekolah, pekerjaan, komunitas, dan sebagainya. Rusaknya relasi banyak disebabkan karena menggunakan kesadaran pikiran: si “aku” selalu mendominasi. Atau yang sering terjadi adalah tampaknya baik, tetapi sejatinya ada pihak yang tidak puas tapi terpaksa mengalah karena tidak berdaya atau tidak ingin konflik. Pihak yang terpaksa mengalah ini juga masih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri karena belum bisa menerima ucapan secara apa adanya, masih ada yang “mengganjal”, dan karena itulah sejatinya masih ada konflik di dalam batinnya, meskipun katanya sudah mengampuni dan bisa menerima.

Kita tahu bahwa hukum bukan sebuah produk pikiran belaka, tetapi harus memiliki roh berupa moral. Dan ketika hukum diterapkan hanya berdasarkan apa yang tertulis tanpa moral, maka yang terjadi rekayasa hukum yang sangat tidak berkeadilan. Demikian pula, apa pun produk manusia bila tidak didasari kesadaran hati sejati yang adalah Bait Allah, produk itu menyimpan konflik. Yang sering kita saksikan adalah konflik terbuka akibat egoisme yang kasat mata merugikan banyak orang, misalnya kerusakan lingkungan ketika yang berwenang mengeksploitasi sumberdaya alam dengan serakah. Padahal apabila kita cermati, banyak produk manusia yang tampaknya baik tetapi sesungguhnya buah dari egoisme, ia menyimpan konflik. Tetapi karena sikap lebih baik mengalah dan diam atau karena tidak berdaya, maka seolah-olah tidak ada konflik. Banyak orang mengukur konflik dari yang kasat mata, padahal di balik itu ada api di dalam sekam yang tak bisa dianggap enteng.

Membangun Habitus Baru
Segala sesuatu, apa pun itu, selalu dimulai dari kebiasaan. Demikian juga menggunakan kesadaran pikiran menjadi kebiasaan karena biasa mengandalkan pikiran, menganggap pikiran analitis mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Ki Ageng Surya Mentaram dalam salah satu piwulangnya mengatakan, bila orang memakai baju untuk semata memenuhi kebutuhan rasa, meskipun telah memiliki seratus baju, masih merasa kurang; sebaliknya apabila baju untuk memenuhi kebutuhan raga, tiga potong baju sudah lebih dari cukup, karena satu dipakai, yang dua disimpan dan dicuci. Maksud dari ajaran ini, hendaknya kita hidup proporsional, barang yang kasat mata dipakai untuk memenuhi yang kasat mata, yakni raga, tetapi yang bukan kasat mata harus dipenuhi dari yang tidak kasat mata.

Dari sini pula hendaknya orang hidup menggunakan kesadaran pikiran untuk menyelesaikan masalah-masalah teknis dalam pekerjaan sehari-hari, contoh sepele memasak air, kita gunakan pikiran untuk mencari air, menyiapkan tungku, menyalakan api, dan seterusnya. Ketika untuk menyelesaikan hal-hal yang bersifat batin, misalnya dalam berelasi dengan orang lain atau kegiatan spiritual, hendaknya juga menggunakan kesadaran batin (awareness), sehingga bisa menerima orang lain secara apa adanya tanpa intervensi pikiran untuk beropini dan menghakimi, atau membuka rekaman masa lalu dalam berelasi, padahal setiap orang setiap saat berubah. Sikap ini mungkin ada yang menilai menjadi pribadi yang tidak peduli dengan lawan bicaranya. Jangan salah, karena menggunakan awareness, justru responnya love and compassion seperti yang diharapkan oleh lawan bicara (bukan opini dan mengadili).

Untuk menjadikan awareness kebiasaan, dibutuhkan niat meluangkan waktu rutin berlatih dalam doa hening yang tidak berpusat pada diri sendiri, melainkan kepada Gusti ingkang Maha Tan Kinira (bukan Gusti menurut image atau konsep saya), dengan sadar atau eling setiap saat tanpa daya upaya sampai dengan sendirinya si “aku” hilang. Sikap ini serupa ketika, misalnya kesemutan di kaki karena lama duduk bersila, atau kegerahan dalam suatu ruangan yang pengap. Bila kita bisa menyadari atau eling menerima apa adanya tanpa beropini bahwa kesemutan atau kegerahan akan mencelakakan diriku karena membuatku tidak bisa berdiri atau dehidrasi, pasti sensasi fisik berupa kesemutan dan kegerahan akan hilang dengan sendirinya. Inilah makna dari “eling setiap saat” menerima hal secara apa adanya tanpa opini. Dalam doa hening “sesuatu yang lain” itu tidak dikejar dengan daya upaya. Datangnya “sesuatu yang lain” sepenuhnya merupakan rahmat yang datang tanpa diantisipasi, tanpa diduga, tanpa diinginkan sebelumnya. Rahmat tersebut datang ketika diri atau si “aku” lenyap. Akhir perjalanan tidak dicapai dalam suatu waktu tertentu sebagai hasil pergulatan panjang oleh si “aku”, melainkan terlahir setiap saat ketika si “aku” lenyap karena eling setiap saat.

Ada manfaatnya juga bila kita mengingat arti kata “sekolah” seperti aslinya. Sekolah dari bahasa Yunani skula yang artinya saat teduh, ketika orang menggunakan waktu luangnya untuk mengembangkan kekuatan batinnya. Kekuatan batin ini akan menghasilkan buah-buah pikiran yang cerdas untuk membangun budaya kehidupan dan menjaga keselarasan dengan alam. Sekolah modern sangat jauh dari konsep waktu teduh, apalagi untuk pengembangan kekuatan batin. Sekolah saat ini sangat bergantung pada kekuatan pikiran analitis yang membuahkan sikap defensif dan mementingkan diri sendiri. Demikian pula menghayati agama dengan pikiran akan membuahkan egoisme dalam ber-Tuhan, Allah direduksi sebagai Allah sesuai image-ku dan untuk memenuhi kemaunku, bukan kehendak-Nya Yang Maha Tan Kinira.

Buah Retret Meditasi Tanpa Objek
Tulisan ini buah dari keikutsertaan dalam retret “Titik Hening – Meditasi Tanpa Objek”, pada tanggal 14 sampai dengan 18 Nopember 2012 di Rumah Retret Susteran OSF Muntilan, yang didampingi oleh Rama J. Sudrijanta SJ. Penulis rasakan bahwa retret tersebut bermanfaat sebagai bekal melanjutkan peziarahan hidup, njangkepi lelakoning urip, bukan sebagai ilmu, tetapi sebagai ngelmu yang harus dihayati dengan membiasakan eling setiap saat. Ngelmu iku kelakoni kanthi laku, harus dihayati tekun bermeditasi eling setiap saat tidak hanya selama duduk hening dalam waktu khusus (seperti yang penulis ketahui tentang metode meditasi selama ini), tetapi juga saat mengayunkan dan mengangkat kaki ketika sedang berjalan, makan, minum, atau apa pun yang sedang dilakukan, harus selalu eling, karena ukuran sukses retret bisa membuat keseharian hidup nyaman, selalu fresh tanpa ego, peaceful, menghayati love and compassion dalam berelasi dengan keluarga, rekan kerja, komunitas, dan siapa pun. Selain itu, penulis juga ingin belajar menggunakan pikiran secara efektif ketika ia benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan sesuatu, tidak membuang energi karena si “aku” defensif. Sembah nuwun, Rahayu, Berkah Dalem.

*) P. Kusuma Wirawan (KRT. Kusuma Wijaya), Pandhemen Temu Kebatinan Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.
Tulisan ini dimuat di majalah UTUSAN, No.02 Tahun ke 63, Pebruari 2013 dengan judul “Eling Setiap Saat” dan pada tanggal 6 Pebruari 2013 di blog Rm. J. Sudrijanta, SJ: www.meditativeestate.wordpress.com